Nur Laila Indah
▪️ Asli wong Njeporo

Ini adalah tulisan saya yang kedua tentang ulasan KSJM pada tanggal 27 Agustus 2021. Saya sudah membuat tujuh paragraf, namun terhapus sebelum saya posting, dan benar saja, rasa dan effort sudah tidak sama, tetapi saya tetap ingin menulis, meskipun hasilnya tidak seperti yang pertama.
Saya bertugas sebagai CP bersama lima santriwati yang lain yaitu Ibu Noor Aliyah (Kebumen), Ibu Siti Aisyah (Semarang), Ibu Ayu Silvia Rosa (Tumijajar), Ibu Windu Wulandari (Malang) dan Ibu Nofriyani (Klaten). Tercatat ada 140 partisipan yang mendaftar kepada kami. Ibu Gita Marini (Surabaya) bertugas sebagai among tamu, sambutan oleh Ibu Anik dari Temanggung, moderator oleh Ibu Heriyanti (Jogyakarta) dan summary adalah Ibu Rini Nur Hasanah (Malang).
KSJM ini benar-benar membuat saya merasa mobat mabit dan sempat tidak dapat tidur. Kalimat yang disampaikan oleh kelima nara sumber benar-benar memberi inspirasi. Mereka telah mempraktekkan ilmu dari Profesor Imam Robandi dan mewujudkan menjadi kenyataan. Mereka adalah bukan orang tidak sibuk tapi adalah sebaliknya dan justru menjadi para juara.
Ada yang berbeda dalam sambutan Profesor Imam Robandi kali ini, tidak seperti biasa, sambutan beliau membuat para santri cukup sedih dan mak jleb. Beliau menyampaikan bahwa jika sewaktu waktu grup IRo Society saya tutup, maka saya sudah tidak khawatir, karena telah lahir para penulis yang tersebar di seluruh nusantara yang pasti akan menularkan ilmunya. Sudah banyak pula anggota yang saling mengenal meskipun raga belum pernah bertemu. Sebuah kebiasaan untuk saling menyapa selalu diingatkan oleh Profesor sehingga tumbuh rasa persaudaraan yang sangat dekat. Beliau juga menyampaikan bahwa ketika para penulis mempunyai karya, berarti dia telah mencatat dirinya dalam sejarah yang akan dikenang sepanjang hayat. Orang sehat yang menulis, itu biasa, tapi orang yang sakit lalu menulis, itu luar biasa, dan hanya orang luar biasa yang memilikinya. Sebuah kalimat yang mampu mengusik perasaan yang selama ini seakan stagnan.
Setelah sambutan Prof Imam, Ibu Heriyanti selaku moderator mempersilahkan Ibu Ana Widyastuti dari Bogor untuk menyampaikan perjalanan dalam membuat buku yang berjudul Jejak Perempuan di Tanah Pasundan. Ketua Majelis Dikdasmen PCM Cileungsi tersebut menyampaikan tentang alasan mengapa harus menulis. Kesempatan adalah hal yang tidak dapat dilewatkan, karena tidak datang dua kali, lalu harus ada motivasi internal dan eksternal, tetap produktif tanpa mengganggu pekerjaan utama, membuat Branding untuk diri sendiri, dan yang kelima bahwa tulisan kita adalah dokumen yang tak pernah sirna walau kita telah tiada. Ibu Ketua Aisyiah PCA Cileungsi tersebut mengatakan juga bahwa kekuatan menulis yang hakiki adalah ada di dalam hati, sehingga dalam menyetor tulisan akan dilakukan tepat waktu sesuai jadwal.
Penulis yang kedua adalah seorang dokter asli dari Lamongan yaitu dr. Izzuki Muhashonah. Buku beliau berjudul “Menembus Jalan Terjal, yang sangat membuat penasaran isi di dalamnya, penuh liku dan terjal. Kepala Instalasi Laboratorium C.151 tersebut menyatakan bahwa menulis buku adalah hal yang sangat berbeda. Jika menulis untuk acara kesehatan adalah sudah biasa, namun menulis buku membutuhkan niat kuat serta tekad besar. Kepala Instalasi Lab RSUD Tongas itu menyampaikan bahwa awal bergabung di IRo Society tepatnya di IRo Personal Book (IPB) dimulai tanggal 30 Januari 2021. Beliau terus mengikuti tahap demi tahap dalam menulis sesuai deadline dari Prof Imam. Hal itu beliau lakukan di sela kegiatan yang juga sebagai Kepala Bidang Pelayanan RS Rizani Paiton, Bendahara IDI Kab. Probolinggo, Sekretaris II Pengurus Pusat PDS PatKlin, serta sebagai Ketua Yayasan Pendidikan Al Amin Tunggul Paciran. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga tersebut kini sedang menyelesaikan di FKMK UGM Jogyakarta. Ada satu persamaan antara Prof Imam dengan guru dari Ibu Izzuki adalah menyampaikan jangan ternak alasan kerjakan dan jangan ditunda. Ada 3 kalimat Prof. Imam yang telah mampu menohok hati Bu Izzuki yaitu kecepatan melebihi kesempurnaan, kesempatan tidak datang dua kali, menulislah sebelum namamu tertulis di batu nisan , kalimat ketiga adalah sangat menyulut hati, begitu papar dokter berusia 42 tahun tersebut. Demi keakuratan data biografi yang di tulis, beliau juga bertanya kepada sanak famili terutama saat masa kanak kanak, sehingga dapat menjalin silaturahmi kembali.
Penulis ketiga adalah juga sangat luar biasa. Beliau bernama Siti Nuriyatus Zahrah dari Samarinda yang lahir di Malang. Seorang dokter muda yang sangat aktif di berbagai bidang termasuk di Aisyiah. Buku beliau berjudul Mengejar Senyuman. Beliau mengatakan bahwa syarat menulis ada 3 yaitu menulis, menulis dan menulis (Kuntowijoyo) seorang Budayawan UGM. Buku yang telah beliau hasilkan ditulis pada saat beliau terpapar COVID-19. Beliau harus menulis dan menyetorkan tulisan tepat waktu di tengah Isoman bersama keluarga di rumah. Tekad yang sangat kuat telah membuatnya mewujudkan impian dalam membuat buku. Selain buku, beliau juga telah membuat 4 artikel yang dimuat di surat kabar di Kalimantan. Dalam uraian Bu dokter Tutus, begitu beliau biasa disapa, menulis harus menyertakan emosi dan menikmati yang ditulis. Harus rutin, kejar target, taat mentor, ulet dan disiplin. Beliau bergabung dalam grup penulisan buku yaitu IRo Myself Book (IMB) satu grup dengan saya waktu itu. Beliau menulis sangat cepat dan sesuai deadline. Ketika selesai membuat buku, tugas belajar berikutnya adalah tentang Marketing Aktualisasi, yaitu memasarkan buku yang kita tulis agar mempunyai manfaat untuk banyak orang.
Ibu Theresia Wariani, adalah dosen di Nusa Tenggara Timur yang mendapat kesempatan sebagai narasumber ketiga sekaligus sahabat Profesor Imam Robandi karena beliau pernah satu sekolah dengannya ketika di Kebumen. Bu Ani menyebutkan bahwa Prof Imam adalah *sahabat kiriman Tuhan. Judul buku beliau adalah *Kerlip Lintang Selatan*, judul yang sangat menawan. Ibu Ani, begitu sapaan akrabnya, memaparkan dalam pembuatan buku autobiografy membutuhkan 7 step yang sangat teratur dan terukur dari Profesor Imam Robandi. Step tersebut harus dilampaui sesuai deadline, jika tidak selesai, maka akan dinyatakan gugur. Step 7 adalah membuat 24 paragraf masing masing sub variabel dari step 5, 1 paragraf adalah 6 kalimat, tidak lebih tidak kurang, dan harus disetor setiap hari pada pukul 16.00 wib. Ibu Ani adalah seorang ibu dari 4 anak yaitu Ayu Bunga Naen (Cikarang), Risa Bunga Naen (Wies, Austria), Gabriela Bunga Naen (Fukuoka,Japan) dan Alfons Igo (Berau) dengan segudang prestasi membanggakan. Bersama sang suami yang sangat harmonis, telah mengantarkan bintang bintang akademik nasional. Banyak guru yang mendapat juara hingga tingkat Nasional berkat bimbingan beliau. Bu Ani adalah sosok yang sangat sabar. Kami hampir setiap hari berkomunikasi, secara pribadi ataupun di grup IMB karena beliau sebagai ketua dan saya adalah sekretaris bersama Bu Arik dari Klaten. Beliau sangat menghargai dan mengerti para anggotanya, benar benar orang yang patut sebagai sosok teladan. Beliau termasuk penulis tercepat dalam menyetorkan tiap stepnya. Buku beliau sangat elegan dengan cover hitam yang eksklusif serta pengantar dari Prof Imam yang istimewa. Dalam kesempatan zoom tersebut, Prof Imam memberi kesempatan kepada semua anaknya untuk diperkenalkan kepada para peserta. Sebuah penghargaan yang diberikan untuk orang tua tercinta dengan hadir dalam acara tersebut.
Penulis terakhir adalah tidak kalah hebat yaitu Bapak Sigid Ariyanto seorang dalang dari Rembang. Ketika beliau ditanya, “Mengapa seorang dalang kok menulis?”, beliau menjawab, karena Prof. Imam Robandi. Ki Dalang memaparkan bahwa menulis adalah kesadaran, jika orang tidak sadar, maka pasti tidak dapat menulis. Beliau mengakui mengalami kendala saat harus merangkai kata menjadi kalimat dalam Bahasa Indonesia. Jika merangkai kalimat dalam bahasa Jawa, sangat tidak kesulitan karena memang bidang yang digelutinya, sehingga beliau memberi judul Wayangku Hidupku dalam buku biografinya. Ki Sigid menyatakan bahwa dalam membuat buku, harus ada grup tersendiri dengan seorang guru yang mumpuni. Tentu saja ada ketua dan sekretaris sebagai penerima naskah. Rasa sungkan akan terasa jika tidak menyetor tulisan karena anggota di dalamnya terdiri dari berbagai bidang. Beliau mengatakan bahwa sesuatu kadang memang harus dibenturkan sehingga tekanan tersebut menyulut tekad untuk disiplin. Hal tersebut yang akan membuat karya menjadi kenyataan. Pada saat menulis, Ki Sigid dalam keadaan sakit di Rumah Sakit, namun tetap berkomitmen untuk menyelesaikan tugas. Sungguh sebuah ethos yang sangat tidak biasa. Profesor Imam Robandi juga mengatakan kepada Ki Sigid bahwa pemakamanmu itu tidak di pemakaman biasa, tapi ada di Perpustakaan di seluruh kampus negeri., akan terpampang seorang dalang pertama yang berhasil mempunyai buku. Sebelum pemaparan beliau akhiri, Ki Sigid melantunkan tembang Jawa yang berjudul Pocung, dengan arti dalam bahasa Indonesianya adalah ‘Ilmu hanya diraih jika dilakukan, dimulai dari kemauan, kemauan yang menguatkan, ketulusan budi diusahakan karena penakluk kejahatan’.
Kelima penulis autobiografy tersebut mempunyai kesamaan, yaitu tekad kuat, disiplin, pantang menyerah dan rendah hati. Sungguh acara yang sangat menginspirasi. Mereka adalah orang-orang cemerlang yang mengilhami. Saya hanya berharap dan berdoa, semoga kami (para penulis) di IPB dan IMB dapat mewujudkan impian mempunyai buku autobiografy sendiri yang kini sudah selesai ditulis, namun belum proses cetak karena kemungkinan terkendala biaya. Saya yakin kita pasti mampu.
Acara berikutnya adalah closing summary oleh oleh Ibu Rini Nurhasanah dengan sangat gemilang. Sampai bertemu di KSJM berikutnya.
Temanggung,
Agustus, 29, 2021
21.12 wib
0 comments on “Berguru dari Penulis Hebat”